PENCATATAN
DALAM PERKAWINAN
PENCATATAN
DALAM PERKAWINAN
Makalah
ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan I
Dosen Pengampu: Drs. AH. Kholis Hayatuddin,
M.Ag
Oleh
:
1. Asih
Pusposari 122121010
2. Edo
Firmansyah 122121012
3. Eko
Budi S A F 122121014
4. Faik
Salafudin 122121015
JURUSAN AL AHWAL ASY
SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI(IAIN) SURAKARTA
2014
Makalah
ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan I
Dosen Pengampu: Drs. AH. Kholis Hayatuddin,
M.Ag
Oleh
:
1. Asih
Pusposari 122121010
2. Edo
Firmansyah 122121012
3. Eko
Budi S A F 122121014
4. Faik
Salafudin 122121015
JURUSAN AL AHWAL ASY
SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI(IAIN) SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di dalam pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 dikatakan bahwa “ Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(Rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.[1]
Sejak Indonesia merdeka (pada masa penjajahan),
sebenarnya umat Islam telah mempunyai kitab hukum perkawinan dan hukum waris
menurut hukum Islam, tetapi setelah adanya pembaharuan maka hukum perkawinan
umat Islam yang tertulis tidak diketemukan lagi dalam peraturan Indonesia dan
hanya dicukupkan pada Indische Stasregeling(IS) pasal 131 ayat (2) b. Yang
didalamnya tidak memuat materi perkawinan, tetapi hanya soal pendaftaran.
Kemudian akhirnya tinggal Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo dan Undang-undang
No. 32 tahun 1954. Tetapi Undang-undang tersebut tidak berisikan hukum
perkawinan (hukum materiil), hanya berisikan pencatatan nikah, talak, dan
rujuk(NTR). Setelah adanya UUP No. 1/1974 persyaratan pencatatan pernikahan,
perceraian, dan rujuk masih tetap diberlakukan.
B. Rumusan
Masalah
1. Hal
apa saja yang terkait dengan pencatatan perkawinan
2. Hal-hal
apa saja yang terkait dengan Akta Nikah
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui segala hal yang terkait dengan Pencatatan Perkawinan
2. Untuk
memahami segala hal mengenai akta nikah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pencatatan Perkawinan
Menurut pasal 2 PP no. 9-1975 dikatakan bahwa ‘Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat nikah.[2]
Pencatatan perkawinan dilaksanakan oleh pejabat PPN(pegawai pencatat nikah) dan wakil PPN yangmana keduanya ialah pegawai negeri sipil yang telah diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan UU No.22 tahun 1946 pada tiap-tiap kantor urusan agama (KUA) kecamatan. Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1976 menunjuk kepala kantor wilayah DEPAG provinsi atau yang setingkat sebagai pejabat yang berhak mengangkat dan memberhentikan pegawai pencatat nikah atau wakilnya, menetapkan tempat kedudukan dan wilayahnya setelah terlebih dahulu menerima usulan dari kepala Bidang urusan agama islam / bidang urusan agama islam dan penyelenggaraan haji atau bidang bimas islam dan penyelenggara haji.[3]
Rumusan mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan disebutkan dalam satu pasal, yaitu pada pasal 2 Undang-undang perkawinan 1974, sebagai berikut : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.[4]
Dalam UUP No. 1/1974 pasal 2 ayat (2), dijelaskan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Didalam KHI keharusan tentang pencatatan perkawinan dijelaskan dalam pasal 4 dan pasal 5, dan akibat dari penyimpangan dari pasal tersebut dijelaskan dalam pasal 6 ayat (2), yaitu “ Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”. Hal tersebut diperkuat oleh pasal 7 ayat (1) yaitu, “ Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah, (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama.[5]
Adapun tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana : pasal 3 sampai dengan pasal 9, sedangkan mengenai tata cara perkawinan diatur dalam pasal 10 dan 11. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
Tata cara perkawinan ialah pelaksanaan perkawinan itu sendiri, yaitu didahului dengan kegiatan-kegiatan baik yang dilakukan oleh calon mempelai maupun oleh pegawai pencatat perkawinan. Calon mempelai atau orang tuanya ataupun wakilnya memberitahukan hendak melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 dan 4 PP No.9 tahun 1975). Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya telah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5 PP No.9/ 1975). ‘Barangsiapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.50,- (pasal 3(1) UU No.22/ 1946), maka berarti perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat atau hukum islam dan tidak di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah, walaupun sah menurut hukum adat atau hukum agama menjadi tidak sah menurut UU No.1/ 1974 jo PP no.9 / 1975.
Kemudian pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi dan tidak terdapat halangan menurut Undang-Undang, pegawai meneliti juga surat-surat yang diperlukan (pasal 5 dan 6 PP). setelah itu diteliti pula sebagai berikut: (pasal 6 ayat (2) PP)
1. Surat keterangan dari kepala desa tentang umur dan asal usul calon mempelai.
2. Keteranga mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
3. Adanya izin tertulis/ izin pengadilan bagi mereka yang akan kawin di bawah umur 21 tahun, terutama jika orang tua dari calon mempelai sudah wafat dan lain sebagainya.
4. Adanya izin dari pengadilan bagi calon suami yang telah beristri.
5. Dispensasi pengadilan/pejabat, bagi calon mempelai yang umurnya di bawah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
6. Surat keterangan kematian/surat cerai terdahulu untuk perkawinan selanjutnya.
7. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hamkan/pangab bagi calon mempelai dari ABRI.
8. Surat kuasa yang disahkan pegawai pencatat untuk perkawinan dimana calon mempelai/keduanya mewakilkan kepada orang lain karena alasan penting tidak dapat hadir.
Apabila ternyata dari hasil penelitian tersebut terdapat halangan perkawinan atau belum terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan, maka hal itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (pasal 7 ayat (2) PP). Bila pemberitahuan itu telah dipandang cukup dan memenuhi syarat-syarat yang di perlukan serta tidak terdapat halangan untuk dilaksanakan perkawinan, maka pegawai pencatat membuat pengumuman tentang pemberitahuan hendak melangsungkan perkawinan menurut formulir yang telah di tetapkan dan menempelkannya dikantor pencatatan yang mudah di baca oleh umum. Pengumuman serupa itu juga dilakukan dikantor yang daerah haluannya meliputi tempat kediaman masing-masing calon mempelai (pasal 8 dan penjelasan pasal 19 PP No.9 tahun 1975).
Pencatatan perkawinan bukan hanya mencakup pernikahan, akan tetapi termasuk juga pencatatan talak dan rujuk. Menurut UU No.22 tahun 1946 tidak dinyatakan secara eksplisit cerai harus dilakukan dalam sidang pengadilan dalam lingkungan agama, tetapi bahwa apabila perceraian tidak dalam pengawasan PPN maka dianggap sebagai pelanggaran dan pelakunya dapat dikenai sanksi dan juga dijelaskan pasal 3 ayat (3) UU No.1 tahun 1946 bahwa talak dapat dilakukan diluar sidang pengadilan, perbuatan penting dilakukan agar terhindar dari pelanggaran adalah bahwa suami yang mentalak istrinya,harus memberitahukan peristiwa talak tersebut pada petugas[6]. pencatatan talak yang berakibat suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor oleh pegawai pencatat, kecuali bagi yang beragama islam terhitung sejak jatuhnya keputusan pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berdasarkan pasal 34 ayat 2. Ketentuan tentang pencatatan talak yang telah diputuskan oleh pengadilan diatur dalam pasal 35 dan pasal 36 PP No.9/1975.
Kemudian pencatatan rujuk, bahwa rujuk menurut agama islam harus diberitahukan kepada PPN apabila tidak diberitahukan maka akan didenda sesuai UU No.2 tahun 1946 ayat 1 dan 2. Orang yang akan rujuk harus datang bersama isterinya untuk melaporkan ke PPN atau Pembantunya yang mewilayahi tempat tinggal istri.[7] Adapun biaya pencatatan rujuk dalam PP No.51 tahun 2000, pencatatan rujuk oleh KUA kecamatan sebesar Rp.30.000 dibayar secara langsung oleh yang bersangkutan ke bendahara khusus atau pejabat lainnya yang mencatat peristiwa rujuk, dibayarkan sebelum rujuk dilaksanakan dan kepada bersangkutan diberikan tanda terima[8].
Aspek yuridis pencatatan perkawinan sebagaimana
dijelaskan bahwa ukuran sah tidaknya perkawinan dapat dilihat dalam UUP
No.1/1974 pasal 1 dan 2 juga KHI pasal 4-7, perceraian sah bila dilakukan
didepan sidang pengadilan dapat dilihat pasal 39 dan 40 UUP No.1/1974 kemudian
melalui proses pencatatan oleh pegawai
pencatat (pasal 17,35 dan 36 PP No.9/1975).begitu juga rujuk, walaupun tidak
harus di depan PPN akan tetapi wajib melaporkannya ke PPN atau pembantunya
untuk dicatat (pasal 24 keputusan menteri agama No.298 tahun 2003). Dari
penjelasan pasal tersebut bahwa keabsahan perkawinan, perceraian, rujuk dapat
diukur dalam 2 aspek yaitu dilakukan menurut hukum islam dan harus dicatat oleh
pegawai pencatat.[9]
Hal ini menunjukan bahwa adanya campur tangan pemerintah dalam setiap
perkawinan walaupun pencatatan perkawinan ini bersifat administrative namun hal
ini dimaksudkan untuk mengeliminir kesan tentang pemahaman masyarakat bahwa
perkawinan merupakan individual affairs atau urusan pribadi. Pencatatan
perkawinan melalui PPN juga dalam rangka menghindari penyalahgunaan lembaga
perkawinan untuk tujuan sesaat yang tidak sejalan dengan tujuan ideal
perkawinan dan merugikan pihak lain.
Dari aspek fikih bahwa tidak ada
literature yang mengharuskan adanya pencatatan, namun hal ini jelas adanya
pembaharuan hukum islam, yang didorong dengan adanya tuntutan masyarakat
tentang adanya kepastian hukum dari sebuah peristiwa hukum, termasuk dalam
masalah perkawinan. dampak negative dari perkawinan, perceraian dan rujuk yang
tidak dicatat yang kemungkinan timbul adalah sebagai alasan utama perlunya
pencatatan. Sebagaimana kaidah fiqh “menolak kemafsadatan didahulukan
daripada menarik kemashlahatan”[10].
Hal ini merupakan tugas pemerintah (ulil amri) untuk menjaga agama dan mengatur
urusan dunia dengan menciptakan kebijakan, keputusan maupun undang-undang dalam
memelihara dan mewujudkan kemaslahatan umat. juga pencatatan dapat dilihat dari
metode maslahah mursalah, sadz adz-dzariah karena tidak ada ketentuan normative
dalam nash. Atau bahkan dapat dicari dari Qiyas seperti dalam QS. Al-Baqarah
ayat 282 yaitu perintah membuat bukti otentik secara tertulis pada transaksi
jual beli tidak tunai[11].
Maka mengingat pentingnya pencatatan
dalam perkawinan sebagaimana manfaatnya untuk menghindari kemadaratan dan
menarik kemaslahatan maka terdapat pendapat bahwa pencatatan dalam perkawinan
bukan hanya sebagai syarat yang bersifat administrative tetapi merupakan rukun
dari sebuah pernikahan, yang dapat menentukan ukuran keabsahan suatu pernikahan[12].
B. Akta
Nikah
Sesaat setelah dilangsungkan perkawinan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan itu juga ditandatangani oleh kedua
orang saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang
melangsungkan perkawinan menurut agama islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan
penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat
secara resmi. (pasal 11 (1-3) PP No.9-1975).
Akta perkawinan itu dibuat dalam rangkap
2(dua), helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada
panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada.
Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal
13). Dengan adanya akta perkawinan itu maka suami istri bersangkutan mempunyai
alat bukti kawin syah berdasarkan UU No.1-1974, yang dapat digunakan di mana
perlu, baik sebagai suami istri, maupun sebagai orangtua/kepala keluarga/rumah
tangga, dsbnya.[13]
Dengan
demikian, pelaksaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan
pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan
hukum dalam mewujudkan kemaslahatan umum (mashlahatul mursalah) di Negara
Republik Indonesia.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian-uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwasanya
1. Seseorang
yang akan melakukan sebuah pernikahan harus dicatatkan agar sebuah perkawinan
tersebut memiliki kekuatan hukum.
2. Bahwa
terdapat 2 lembaga yang berwenang dalam pencatatan perkawinan dan perceraian diantaranya
: KUA bagi yang Beragama islam dan Kantor cacatan sipil bagi agama atau
kepercayaan selain islam.
3. Perceraian
hanya dapat terjadi didepan sidang pengadilan, perceraian dianggap terjadi saat
di daftarkannya ke pencatatan kantor kecuali bagi orang beragama islam.
4. Bahwa rujuk walaupun tidak harus dilakukan
dihadapan PPN namun wajib dilaporkan pada PPN untuk dicatatkan.
5. Dari
aspek yuridis pencatatan perkawinan yang dibuat lembaga Negara harus mengandung
kemudahan dalam memelihara dan mewujudkan kemaslahatan umat
6. Dari
aspek fikih pencatatan perkawinan untuk meminimalisir adanya kemudaratan
seperti kaidah “menolak kemafsadatan didahulukan daripada menarik
kemashlahatan”
DAFTAR PUSTAKA
Subekti. 1996. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa
Syahkuri, Taufiqurrohman. 2013. Legislasi Hukum Perkawinan di
Indonesia : Prokontra pembentukannya hingga putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta:kencana
Wasman, Wardah Nuroniah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Yogjakarta : Teras
Hilman Hadikusuma. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia
menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: CV Mandar Maju
Manan, Abdul. 2006.
Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
[1]Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan
Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV Mandar
Maju, 1990), hal. 6
[2]
Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
(Bandung: CV Mandar Maju, 1990), hal. 82
[3]
Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal. 59
[4] Taufiqurrohman Syahkuri. Legislasi
Hukum Perkawinan di Indonesia : Prokontra… hal.167
[6]
Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.68-69
[10] Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.75-76
[11] Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.77-78
[12] Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.79-80
[13]
Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
(Bandung: CV Mandar Maju, 1990), hal. 85-86
[14]
Abdul Manan, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hal.14-15.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda