Selasa, 30 Desember 2014




PENCATATAN DALAM PERKAWINAN



PENCATATAN DALAM PERKAWINAN


224120_198126016891201_1338660_n.jpg


Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan I
 Dosen Pengampu: Drs. AH. Kholis Hayatuddin, M.Ag
Oleh :
1.      Asih Pusposari            122121010
2.      Edo Firmansyah          122121012
3.      Eko Budi S A F          122121014
4.      Faik Salafudin             122121015

JURUSAN AL AHWAL ASY SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI(IAIN)  SURAKARTA
2014




Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan I
 Dosen Pengampu: Drs. AH. Kholis Hayatuddin, M.Ag
Oleh :
1.      Asih Pusposari            122121010
2.      Edo Firmansyah          122121012
3.      Eko Budi S A F          122121014
4.      Faik Salafudin             122121015

JURUSAN AL AHWAL ASY SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI(IAIN)  SURAKARTA
2014
 







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di dalam pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 dikatakan bahwa “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(Rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.[1]
Sejak Indonesia merdeka (pada masa penjajahan), sebenarnya umat Islam telah mempunyai kitab hukum perkawinan dan hukum waris menurut hukum Islam, tetapi setelah adanya pembaharuan maka hukum perkawinan umat Islam yang tertulis tidak diketemukan lagi dalam peraturan Indonesia dan hanya dicukupkan pada Indische Stasregeling(IS) pasal 131 ayat (2) b. Yang didalamnya tidak memuat materi perkawinan, tetapi hanya soal pendaftaran. Kemudian akhirnya tinggal Undang-undang No. 22 tahun 1946 jo dan Undang-undang No. 32 tahun 1954. Tetapi Undang-undang tersebut tidak berisikan hukum perkawinan (hukum materiil), hanya berisikan pencatatan nikah, talak, dan rujuk(NTR). Setelah adanya UUP No. 1/1974 persyaratan pencatatan pernikahan, perceraian, dan rujuk masih tetap diberlakukan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Hal apa saja yang terkait dengan pencatatan perkawinan
2.      Hal-hal apa saja yang terkait dengan Akta Nikah
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui segala hal yang terkait dengan Pencatatan Perkawinan
2.      Untuk memahami segala hal mengenai akta nikah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pencatatan Perkawinan

Menurut pasal 2 PP no. 9-1975 dikatakan bahwa ‘Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat nikah.[2]

Pencatatan perkawinan dilaksanakan oleh pejabat PPN(pegawai pencatat nikah) dan wakil PPN yangmana keduanya ialah pegawai negeri sipil yang telah diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan UU No.22 tahun 1946 pada tiap-tiap kantor urusan agama (KUA) kecamatan. Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1976 menunjuk kepala kantor wilayah DEPAG provinsi atau yang setingkat sebagai pejabat yang berhak mengangkat dan memberhentikan pegawai pencatat nikah atau wakilnya, menetapkan tempat kedudukan dan wilayahnya setelah terlebih dahulu menerima usulan dari kepala Bidang urusan agama islam / bidang urusan agama islam dan penyelenggaraan haji atau bidang bimas islam dan penyelenggara haji.[3]

Rumusan mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan disebutkan dalam satu pasal, yaitu pada pasal 2 Undang-undang perkawinan 1974, sebagai berikut : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.[4]

Dalam UUP No. 1/1974 pasal 2 ayat (2), dijelaskan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Didalam KHI keharusan tentang pencatatan perkawinan dijelaskan dalam pasal 4 dan pasal 5, dan akibat dari penyimpangan dari pasal tersebut dijelaskan dalam pasal 6 ayat (2), yaitu “ Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”. Hal tersebut diperkuat oleh pasal 7 ayat (1) yaitu, Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah, (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama.[5]

Adapun tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana : pasal 3 sampai dengan pasal 9, sedangkan mengenai tata cara perkawinan diatur dalam pasal 10 dan 11. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

Tata cara perkawinan ialah pelaksanaan perkawinan itu sendiri, yaitu didahului dengan kegiatan-kegiatan baik yang dilakukan oleh calon mempelai maupun oleh pegawai pencatat perkawinan. Calon mempelai atau orang tuanya ataupun wakilnya memberitahukan hendak melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 dan 4 PP No.9 tahun 1975). Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya telah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5 PP No.9/ 1975). ‘Barangsiapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.50,- (pasal 3(1) UU No.22/ 1946), maka berarti perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat atau hukum islam dan tidak di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah, walaupun sah menurut hukum adat atau hukum agama menjadi tidak sah menurut UU No.1/ 1974 jo PP no.9 / 1975.

Kemudian pegawai tersebut meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi dan tidak terdapat halangan menurut Undang-Undang, pegawai meneliti juga surat-surat yang diperlukan (pasal 5 dan 6 PP). setelah itu diteliti pula sebagai berikut: (pasal 6 ayat (2) PP)

1.      Surat keterangan dari kepala desa tentang umur dan asal usul calon mempelai.

2.      Keteranga mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.

3.      Adanya izin tertulis/ izin pengadilan bagi mereka yang akan kawin di bawah umur 21 tahun, terutama jika orang tua dari calon mempelai sudah wafat dan lain sebagainya.

4.      Adanya izin dari pengadilan bagi calon suami yang telah beristri.

5.      Dispensasi pengadilan/pejabat, bagi calon mempelai yang umurnya di bawah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.

6.      Surat keterangan kematian/surat cerai terdahulu untuk perkawinan selanjutnya.

7.      Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hamkan/pangab bagi calon mempelai dari ABRI.

8.      Surat kuasa yang disahkan pegawai pencatat untuk perkawinan dimana calon mempelai/keduanya mewakilkan kepada orang lain karena alasan penting tidak dapat hadir.

Apabila ternyata dari hasil penelitian tersebut terdapat halangan perkawinan atau belum terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan, maka hal itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (pasal 7 ayat (2) PP). Bila pemberitahuan itu telah dipandang cukup dan memenuhi syarat-syarat yang di perlukan serta tidak terdapat halangan untuk dilaksanakan perkawinan, maka pegawai pencatat membuat pengumuman tentang pemberitahuan hendak melangsungkan perkawinan menurut formulir yang telah di tetapkan dan menempelkannya dikantor pencatatan yang mudah di baca oleh umum. Pengumuman serupa itu juga dilakukan dikantor yang daerah haluannya meliputi tempat kediaman masing-masing calon mempelai (pasal 8 dan penjelasan pasal 19 PP No.9 tahun 1975).

Pencatatan  perkawinan bukan hanya mencakup pernikahan, akan tetapi termasuk juga pencatatan talak dan rujuk. Menurut UU No.22 tahun 1946 tidak dinyatakan secara eksplisit cerai harus dilakukan dalam sidang pengadilan dalam lingkungan agama, tetapi bahwa apabila perceraian tidak dalam pengawasan PPN maka dianggap sebagai pelanggaran dan pelakunya dapat dikenai sanksi dan juga dijelaskan pasal 3 ayat (3) UU No.1 tahun 1946 bahwa talak dapat dilakukan diluar sidang pengadilan, perbuatan penting dilakukan agar terhindar dari pelanggaran adalah bahwa suami yang mentalak istrinya,harus memberitahukan peristiwa talak tersebut pada petugas[6]. pencatatan talak yang berakibat suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor oleh pegawai pencatat, kecuali bagi yang beragama islam terhitung sejak jatuhnya keputusan pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berdasarkan pasal 34 ayat 2. Ketentuan tentang pencatatan talak yang telah diputuskan oleh pengadilan diatur dalam pasal 35 dan pasal 36 PP No.9/1975.

Kemudian pencatatan rujuk, bahwa rujuk menurut agama islam harus diberitahukan kepada PPN apabila tidak diberitahukan maka akan didenda sesuai UU No.2 tahun 1946 ayat 1 dan 2. Orang yang akan rujuk harus datang bersama isterinya untuk melaporkan ke PPN atau Pembantunya yang mewilayahi tempat tinggal istri.[7] Adapun biaya pencatatan rujuk dalam PP No.51 tahun 2000, pencatatan rujuk oleh KUA kecamatan sebesar Rp.30.000 dibayar secara langsung oleh yang bersangkutan ke bendahara khusus atau pejabat lainnya yang mencatat peristiwa rujuk, dibayarkan sebelum rujuk dilaksanakan dan kepada bersangkutan diberikan tanda terima[8].

Aspek yuridis pencatatan perkawinan sebagaimana dijelaskan bahwa ukuran sah tidaknya perkawinan dapat dilihat dalam UUP No.1/1974 pasal 1 dan 2 juga KHI pasal 4-7, perceraian sah bila dilakukan didepan sidang pengadilan dapat dilihat pasal 39 dan 40 UUP No.1/1974 kemudian melalui proses  pencatatan oleh pegawai pencatat (pasal 17,35 dan 36 PP No.9/1975).begitu juga rujuk, walaupun tidak harus di depan PPN akan tetapi wajib melaporkannya ke PPN atau pembantunya untuk dicatat (pasal 24 keputusan menteri agama No.298 tahun 2003). Dari penjelasan pasal tersebut bahwa keabsahan perkawinan, perceraian, rujuk dapat diukur dalam 2 aspek yaitu dilakukan menurut hukum islam dan harus dicatat oleh pegawai pencatat.[9] Hal ini menunjukan bahwa adanya campur tangan pemerintah dalam setiap perkawinan walaupun pencatatan perkawinan ini bersifat administrative namun hal ini dimaksudkan untuk mengeliminir kesan tentang pemahaman masyarakat bahwa perkawinan merupakan individual affairs atau urusan pribadi. Pencatatan perkawinan melalui PPN juga dalam rangka menghindari penyalahgunaan lembaga perkawinan untuk tujuan sesaat yang tidak sejalan dengan tujuan ideal perkawinan dan merugikan pihak lain.
Dari aspek fikih bahwa tidak ada literature yang mengharuskan adanya pencatatan, namun hal ini jelas adanya pembaharuan hukum islam, yang didorong dengan adanya tuntutan masyarakat tentang adanya kepastian hukum dari sebuah peristiwa hukum, termasuk dalam masalah perkawinan. dampak negative dari perkawinan, perceraian dan rujuk yang tidak dicatat yang kemungkinan timbul adalah sebagai alasan utama perlunya pencatatan. Sebagaimana kaidah fiqh “menolak kemafsadatan didahulukan daripada menarik kemashlahatan[10]. Hal ini merupakan tugas pemerintah (ulil amri) untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan menciptakan kebijakan, keputusan maupun undang-undang dalam memelihara dan mewujudkan kemaslahatan umat. juga pencatatan dapat dilihat dari metode maslahah mursalah, sadz adz-dzariah karena tidak ada ketentuan normative dalam nash. Atau bahkan dapat dicari dari Qiyas seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 yaitu perintah membuat bukti otentik secara tertulis pada transaksi jual beli tidak tunai[11].
Maka mengingat pentingnya pencatatan dalam perkawinan sebagaimana manfaatnya untuk menghindari kemadaratan dan menarik kemaslahatan maka terdapat pendapat bahwa pencatatan dalam perkawinan bukan hanya sebagai syarat yang bersifat administrative tetapi merupakan rukun dari sebuah pernikahan, yang dapat menentukan ukuran keabsahan suatu pernikahan[12].
B.     Akta Nikah
Sesaat setelah dilangsungkan perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan itu juga ditandatangani oleh kedua orang saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam, ditandatangani pula oleh  wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi. (pasal 11 (1-3) PP No.9-1975).
Akta perkawinan itu dibuat dalam rangkap 2(dua), helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada. Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 13). Dengan adanya akta perkawinan itu maka suami istri bersangkutan mempunyai alat bukti kawin syah berdasarkan UU No.1-1974, yang dapat digunakan di mana perlu, baik sebagai suami istri, maupun sebagai orangtua/kepala keluarga/rumah tangga, dsbnya.[13]
Dengan demikian, pelaksaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan umum (mashlahatul mursalah) di Negara Republik Indonesia.[14]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan    
Dari uraian-uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwasanya
1.      Seseorang yang akan melakukan sebuah pernikahan harus dicatatkan agar sebuah perkawinan tersebut memiliki kekuatan hukum.
2.      Bahwa terdapat 2 lembaga yang berwenang dalam pencatatan perkawinan dan perceraian diantaranya : KUA bagi yang Beragama islam dan Kantor cacatan sipil bagi agama atau kepercayaan selain islam.
3.      Perceraian hanya dapat terjadi didepan sidang pengadilan, perceraian dianggap terjadi saat di daftarkannya ke pencatatan kantor kecuali bagi orang beragama islam.
4.       Bahwa rujuk walaupun tidak harus dilakukan dihadapan PPN namun wajib dilaporkan pada PPN untuk dicatatkan.
5.      Dari aspek yuridis pencatatan perkawinan yang dibuat lembaga Negara harus mengandung kemudahan dalam memelihara dan mewujudkan kemaslahatan umat
6.      Dari aspek fikih pencatatan perkawinan untuk meminimalisir adanya kemudaratan seperti kaidah “menolak kemafsadatan didahulukan daripada menarik kemashlahatan
             







DAFTAR PUSTAKA

Subekti. 1996. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa
Syahkuri, Taufiqurrohman. 2013. Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia : Prokontra pembentukannya hingga putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta:kencana
Wasman, Wardah Nuroniah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Yogjakarta : Teras
Hilman Hadikusuma. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: CV Mandar Maju
Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group


[1]Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV Mandar Maju, 1990), hal. 6
[2] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV Mandar Maju, 1990), hal. 82
[3] Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal. 59
[4] Taufiqurrohman Syahkuri. Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia : Prokontra… hal.167
[5] Wasman, Wardah Nuroniah, hukum perkawinan....hal. 62
[6] Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.68-69
[7]Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.72
[8] Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Yogjakarta : Teras, 2011), hal.74
[9] Wasman,Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.75
[10] Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.75-76
[11] Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.77-78
[12] Wasman, Wardah Nuroniah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogjakarta : Teras, 2011), hal.79-80
[13] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV Mandar Maju, 1990), hal. 85-86
[14] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal.14-15.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda