TAFSIR AHKAM: AYAT TUDUHAN
PALSU
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Ahkam II
Dosen pengampu : H. Sholakhuddin Sirizar, M.A
Disusun oleh :
1. Asih Pusposari (122.121.010)
2. Irfaiyah (122.121.020)
3. Siti Zaenatul Mar’ah (122.121.037)
4. Vivi Kus Aisyah (122.121.042)
JURUSAN AHWAL ASY- SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SURAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “TUDUHAN PALSU” tepat pada waktunya. Sebagai
tugas kelompok pada mata kuliah Tafsir
Ahkam di Fakultas Syari’ah
IAIN SURAKARTA.
Makalah ini berisi
tentang penafsiran Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tuduhan palsu. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan pengetahuan
yang baru kepada kita tentang tuduhan palsu.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA
PENGANTAR................................................................................ 1
DAFTAR
ISI .............................................................................................. 2
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ................................................................................ 3
B.
Rumusan
Masalah ........................................................................... 3
C.
Tujuan ............................................................................................ 3
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tuduhan Palsu.......................................................... 5
B.
Tafsir Ayat tentang Tuduhan Palsu........................................... 5
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 12
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah
menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya guna untuk jadi petunjuk bagi alam
semesta alam. Allah mengemukakan kepada makhluk itu akidah yang yang benar dan
prinsip-prinsip agama yang kuat. Inilah karunia Allah kepada umat
manusia, hukum-hukumnya itu mempunyai dasar agama. Untuk membetulkan akidah
umat manusia dan menunjukan kepada mereka itu jalan-jalan yang betul yang
sesuai dengan ajaran Islam.
Salah satu yang diusung islam adalah memelihara kehormatan,
menjaga martabat, serta kemuliaan manusia. Berangkat dari sinilah,
Islam “memotong” percakapan yang buruk dan menutup pintu rapat-rapat bagi mereka yang mencari-cari keburukan
orang suci. Islam melarang para jiwa yang lemah untuk menyakiti hati dan melucuti martabat manusia. Hal ini selaras dengan islam yang sangat melarang penyebaran tindakan keji
(zina) di antara orang-orang yang beriman agar kehidupan berjalan suci,
terlepas dari kekejian dan keburukan. (Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,
Jakarta: Pena Pundi Aksara, hal. 175)
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
Tuduhan palsu
2.
Bagaimana
Tuduhan Palsu menurut Tafsir Ahkam An-Nisa’: 112?
3.
Bagaimana Tuduhan Palsu menurut Tafsir Ahkam An-Nur
:4-5?
C. Tujuan
1. Untuk
dapat memahami apa itu Tuduhan Palsu
2. Untuk dapat memahami tuduhan palsu menurut Tafsir Ahkam An-Nisa’: 112
3.
Untuk dapat memahami tuduhan palsu menurut Tafsir Ahkam
An-Nur :4-5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tuduhan Palsu
Arti semula Qadzaf adalah melempar(ar-ramyu),
seperti yang tergambar dalam surat Thaha: 39
“Yaitu, letakkanlah ia(Musa) di dalam tabut/peti, kemudian
lemparkanlah ke dalam sungai”
Arti qadzaf dalam hubungannya dengan zina ialah
melemparkan tuduhan zina atau menuduh zina. Allah telah mendeklarasikan
bahwasanya manusia adalah sebagai makhluk yang termulia di muka bumi,
sebagaimana dalam QS. Al-Isra’:70 “Dan niscaya sungguh-sungguh kami telah
memuliakan anak keturunan adam”.
Barangsiapa
yang menuduh orang lain dengan sesuatu yang haram maka wajib membuktikan
tuduhannya itu, apabila ia tidak dapat membuktikan tuduhannya itu maka ia wajib
mendapatkan hukuman. (Prof. Drs. H.A. Dzajuli, Fiqh
Jinayah: Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997), hal. 63-64
Seseorang yang menuduh orang lain menuduh orang lain
berbuat zina harus dapat mendatangkan empat orang saksi yang memiliki kriteria
muslim, dewasa, berakal sehat, adil lagi bebas dari tekanan.
Kesaksian terhadap orang yang melakukan perzinaan
dengan empat orang saksi dengan kriteria di atas ternyata belum cukup. Kepada
keempat saksi tersebut disyaratkan bahwa dalam peristiwa dan waktu yang sama
dan secara haqul yakin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana
perzinaan itu berlangsung, seperti mereka melihat bagaimana penis melakukan
penetrasi ke dalam vagina secara jelas. (Drs. Mustafa Kamal Pasha, Fikih
Sunnah, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), hal. 280-281
B. Tafsir Ayat Ahkam tentang Tuduhan Palsu
1. Surat An-Nisa’: 112
وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ
يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (النساء : ١١٢)
“Dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian
dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah
berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”.( Qs .
An-nisa’: 112)
Mufrodat
إِثْماً :Dosa
خَطِيْىةً :Dosa yang
tidak disengaja. Sedangkan (إِثْماً) apa yang dilakukan seseorang, sedangkan dia
mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu suatu dosa.
اِحٌتَمَلَ :Membebani dirinya supaya menanggung.
يَرْمِ بِهِ : Menuduhkan dan menyadarkan
dosa itu kepada orang lain.
بُهْتاَ
ناً :Berbuat dosa kepada orang lain dengan suatu yang
membingungkan.
Asbabun
Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas, “Bahwa salah seorang
dari golongan Anshar yang berperang bersama Rasulullah SAW dalam satu
peperangan kehilangan baju besi. Seorang laki-laki dari anshar tertuduh mencuri
baju besi itu. Pemilik baju besi itu menghadap Rasululllah SAW dan mengatakan
bahwa Tu’mah bin ubairiq yang mencuri baju besi itu dan meletakkannya di rumah
seorang laki-laki yang tidak bersalah. Kemudian, Tu’mah memberitahukan kepada
kaumnya bahwa dia telah menggelapkan baju besi dan menyembunyikannya di rumah
orang lain yang tidak bersalah. Baju besi itu kelak ditemukan di rumah orang
itu. Keluarga Tu’mah pergi menghadap Rasulullah SAW pada suatu malam mengatakan
kepada beliau: “ Sesungguhnya saudara kami Tu’mah bersih dari tuduhan itu.
Sesungguhnya pencuri baju besi itu ialaha si fulan, dan kami benar-benar
mengetahui tentang itu”. Bebaskanlah saudara kami dari segala tuduhan di
hadapan khalayak dan belalah dia. Jika Allah tidak memeliharanya dengan
perantaraanmu binasalah dia. Rasul pun hampir saja membersihkan Tu’mah dari
segala Tuduhan dan mengumumkan hai itu di hadapan khalayak ramai. Maka turunlah
ayat ini. (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya(Edisi yang
disempurnakan), Jakarta: Lentera Abadi, hal 259).
Tafsir
Ayat
Orang yang melakukan perbuatan dosa dengan tidak sengaja atau dengan
sengaja, kemudian dia melemparkan kesalahan itu kepada orang lain dan menuduh
orang lain mengerjakannya, sedang ia mengetahui orang lain itu tidak bersalah,
maka dia sesungghnya telah membuat kebohongan yang besar dan akan memikul
dosanya seperti yang dilakukan keluarga Banu ubairiq yang melemparkan kejahatan
Tu’mah kepada Zaid bin saleh. Orang seperti Tu’mah dan keluarganya tetap
melakukan dua macam kejahatan. Kejahatan melakukan perbuatan dosa itu sendiri
dan kejahatan melempar tuduhan yang tidak benar kepada orang lain. (Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya(Edisi yang disempurnakan), Jakarta:
Lentera Abadi, hal 261)
2. Surat An-Nur : 4-5
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٤)
إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ(٥
Artinya: 4. “Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya
karna mereka Itulah orang-orang yang fasik; 5. Kecuali orang-orang yang
bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nur:4-5).
Asbabun Nuzul
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa
ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan “Peristiwa dusta” di mana dalam
peristiwa itu Ummul Mukminin yang suci, bersih, terhormat dan dapat dipercaya
A’isyah binti Abu bakar Ash-Shidiq istri Rasulullah SAW telah dituduh (berbuat
zina), sedang ayat pembebasnya yang diturunkan ini merupakan pelajaran yang
sangat berharga bagi umat dan generasi sesudahnya.
Ibnu Jarir Ath-Thabari rah. berkata:
dikatakan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang menuduh
A’isyah istri Nabi SAW dengan tuduhan dusta. Dan diriwayatkan bahwa Sa’id bin
Jubair pernah ditanya: Mana yang lebih berat (hukumannya), zina atau menuduh
orang berbuat zina? Ia menjawab: Zina. Aku(Ibnu Jarir) berkata: Sesungguhnya
Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh (berzina) kepada wanita-wanita
yang baik-baik” dan seterusnya. Sa’id berkata: Sesungguhnya ayat ini khusus
berkenaan dengan peristiwa A’isyah ra.
Yang benar adalah seperti yang
dikemukakan Al-Qurthubi dan dipilih oleh ibnu jari, bahwa ayat ini
diturunan berkenaan dengan masalahan
tuduhan zina pada umumnya bukan khusus yang menyangkut peristiwa A’isyah saja
karena ayat ini merupakan hukum dari Allah yang bersifat umum yang menyangkut
setiap tuduhan zina dan telah dimaklumi bahwa:“Yang dijadikan pegangan itu adalah keumuman lafalnya bukan pada
kekhususan sebab ( diturunkannya )”.( Hamidy, Mu’ammal. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni.
Surabaya:PT Bina Ilmu
Offset, 1993).
Mufrodat
Kata Yarmuna adalah bentuk fi’il mudhari’ dari rama-yarmi-ramyan, yang pada mulanya
berarti melempar, tetapi yang dimaksud dalam ayat ini adalah makna majazy,
yakni menuduh, ayat ini tidak menjelaskan tuduhan apa yang dimaksud, tetapi
dari konteksnya bahwa ia adalah tuduhan zina. Memang pada masa jahiliyah sering
kali tuduhan semacam ini dilontarkan bila mereka melihat hubungan akrab antara
laki-laki dan perempuan. Mereka juga sering kali menuduh perempuan berzina,
jika melihat anak yang dilahirkan tidak mirip dengan suami dan istri yang
melahirkannya.
Munasabah
Pada ayat yang lalu Allah menerangkan hukuman atas perempuan dan
laki-laki yang belum menikah(bujangan) yang berzina dan larangan bagi mereka
menikah dengan perempuan atau laki-laki baik-baik. Maka pada ayat-ayat berikut
ini Allah menerangkan tentang larangan menuduh perempuan yang baik-baik
berzina; dan larangan menerima kesaksian para penuduh itu karna mereka itu
adalah orang-orang fasiq.
Tafsir
Ayat
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang menuduh perempuan yang
baik-baik (Muhshanat) berzina, kemudian mereka itu tidak dapat membuktikan
kebenaran tuduhan mereka, dapat mendatangkan empat orang saksi yang adil yang
menyaksikan dan melihat sendiri dengan mata kepala mereka berbuat zina itu,
maka hukuman untuk mereka ialah didera delapan puluh kali, karena mereka itu
telah membuat malu dan merusak nama baik orang yang dituduh, begitu juga
keluarganya. Yang dimaksud dengan perempuan muhshsanat disini adalah
perempuan-perempuan muslimat yang baik sesudah akil balig dan merdeka.
Penuduh-penuduh itu tidak dapat dipercayai ucapannya dan tidak dapat menerima
kesaksiannya dalam hal apapun selamanya, karena mereka itu pembohong dan fasiq,
yaitu sengaja melanggar hukum-hukum Allah.
Disebutkan secara jelas perempuan disini tidaklah berarti bahwa ketentuan
itu hanya berlaku bagi perempuan. Bentuk hukuman seperti itu disebut Aglabiyyah, yaitu bahwa ketentuan itu
menurut kebiasaan mencakup pihak-pihak lain. Dengan demikian laki-laki juga
dikenai hukuman tersebut.
Istimbatul
Ahkam
1.
Arti “Ihshan” yang
mempunyai empat makna, yaitu:
a.
‘Iffah (terpeliharanya kehormatan), “Al-Muhshanat”
di sini berarti wanita-wanita yang memelihara kehormatannya baik mereka itu
wanita-wanita mukminat maupun wanita ahli kitab.
b. Al-Hurriyah (kemerdekaan
lawan kehambaan)
c. At-Tazawwuj(bersuami),
kata “Al-Muhshanat” di sini berarti perempuan-perempuan yang bersuami.
d.
Al-Islam
Syarat-syarat Tuduhan
ü Yang berhubungan dengan penuduh, di antaranya: berakal, baligh, dan atas
kemauannya sendiri.
ü Yang berhubungan dengan pihak tertuduh, di antaranya: islam, berakal,
baligh, kemerdekaan, ‘iffah
(terpeliharanya kehormatan).
ü Yang berhubungan dengan materi tuduhan.( Hamidy, Mu’ammal, Imron A.
Manan. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. 1993. Surabaya: PT Bina Ilmu, Hal.
135-138).
2.
Orang-orang yang menuduh
perempuan-perempuan muhshanat berbuat zina kemudian mereka tidak dapat
mendatangkan empat orang saksi untuk memperkuat tuduhan mereka maka hukuman
mereka ialah didera delapan puluh kali dera dan tidak boleh diterima
kesaksiannya selama-lamanya, serta di golongkan kedalam orang-orang fasik. Hal
yang sama berlaku bagi laki-laki yang dituduh berbuat zina.
3.
Penuduh-penuduh itu
apabila taubat dengan taubat nasuha, maka kesaksian mereka dapat diterima
kembali dan tidak lagi digolongkan ke dalam orang-orang fasik, karena Allah
Maha Pengampun Maha Pengasih.
Gugurnya Hukum Qadzaf
Seseorang
yang menuduh orang lain berbuat zina akan gugur hukumannya apabila orang
tersebut:
a.
Dapat mengemukakan saksi
empat orang, yang menerangkan bahwa tertuduh benar-benar berzina dengan
kesaksian sebagaimana disyariatkan oleh agama
b.
Dimaafkan oleh yang tertuduh
c.
Kalau yang dituduh berbuat
zina justru istrinya sendiri, maka hukuman tersebut dapat terlepas dengan cara “Li’an”.
(Drs. Mustafa Kamal Pasha, Fikih Sunnah, Yogyakarta: Citra Karsa
Mandiri, 2003), hal. 280-281
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwasanya tuduhan palsu ialah suatu yang
mana tidak sesuai dengan kenyataanya. Menuduh itu ada dua macam yaitu menuduh
zina yang mengancam had dan menuduh selain zina yang dihukum ta’zir.
Barangsiapa yang menuduh orang lain dengan sesuatu yang haram maka wajib
membuktikan tuduhannya itu, apabila ia tidak dapat membuktikan tuduhannya itu
maka ia wajib mendapatkan hukuman.
Dalam qadzaf
ada hukuman pokok ialah jilid dan ada hukuman tambahan dan tidak diterima
kesaksian. Jumlah jilid ada 80 kali, tidak bisa dikurangi atau tidak dapat
ditambah.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Abdul
Halim Binjui. 2011. Tafsir Ahkam. Jakarta: Prenada media Group.
Hamidy,
dkk. 1993. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Kamal
Pasha, Mustafa. 2003. Fikih Sunnah, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri,
H.A. Dzajuli. 1997. Fiqh
Jinayah: Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Sayyid
Sabiq, Muhammad. 2012. Fiqh Sunnah.
Jakarta: Pena Pundi Aksara