Selasa, 30 Desember 2014


TAFSIR AHKAM: AYAT TUDUHAN PALSU



Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam II
Dosen pengampu : H. Sholakhuddin Sirizar, M.A

Disusun oleh :

1.      Asih Pusposari                  (122.121.010)                         
2.      Irfaiyah                             (122.121.020)
3.      Siti Zaenatul Mar’ah         (122.121.037)
4.      Vivi Kus Aisyah               (122.121.042)



JURUSAN AHWAL ASY- SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2014









KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “TUDUHAN PALSU” tepat pada waktunya. Sebagai tugas kelompok pada mata kuliah Tafsir Ahkam di Fakultas Syari’ah IAIN SURAKARTA.
Makalah ini berisi tentang penafsiran Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tuduhan palsu. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang baru kepada kita tentang tuduhan palsu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.















DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................        1
DAFTAR ISI ..............................................................................................        2
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ................................................................................        3
B.     Rumusan Masalah ...........................................................................        3
C.     Tujuan  ............................................................................................        3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tuduhan Palsu..........................................................        5
B.     Tafsir Ayat tentang Tuduhan Palsu...........................................        5
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..................................................................................................        12
DAFTAR PUSTAKA
















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya guna untuk jadi petunjuk bagi alam semesta alam. Allah mengemukakan kepada makhluk itu akidah yang yang benar dan prinsip-prinsip agama yang kuat. Inilah karunia Allah kepada umat  manusia, hukum-hukumnya itu mempunyai dasar agama. Untuk membetulkan akidah umat manusia dan menunjukan kepada mereka itu jalan-jalan yang betul yang sesuai dengan ajaran Islam.
            Salah satu yang diusung islam adalah memelihara kehormatan, menjaga martabat, serta kemuliaan manusia. Berangkat dari sinilah, Islam “memotong” percakapan yang buruk dan menutup pintu rapat-rapat bagi mereka yang mencari-cari keburukan orang suci. Islam melarang para jiwa yang lemah untuk menyakiti hati dan melucuti martabat manusia. Hal ini selaras dengan islam yang sangat melarang penyebaran tindakan keji (zina) di antara orang-orang yang beriman agar kehidupan berjalan suci, terlepas dari kekejian dan keburukan. (Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, hal. 175)

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Tuduhan palsu
2.      Bagaimana Tuduhan Palsu menurut Tafsir Ahkam An-Nisa’: 112?
3.      Bagaimana Tuduhan Palsu menurut Tafsir Ahkam An-Nur :4-5?

C.    Tujuan
1.      Untuk dapat memahami apa itu Tuduhan Palsu
2.      Untuk dapat memahami tuduhan palsu menurut Tafsir Ahkam An-Nisa’: 112
3.      Untuk dapat memahami tuduhan palsu menurut Tafsir Ahkam An-Nur :4-5
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tuduhan Palsu
Arti semula Qadzaf adalah melempar(ar-ramyu), seperti yang tergambar dalam surat Thaha: 39
Yaitu, letakkanlah ia(Musa) di dalam tabut/peti, kemudian lemparkanlah ke dalam sungai
Arti qadzaf dalam hubungannya dengan zina ialah melemparkan tuduhan zina atau menuduh zina. Allah telah mendeklarasikan bahwasanya manusia adalah sebagai makhluk yang termulia di muka bumi, sebagaimana dalam QS. Al-Isra’:70 “Dan niscaya sungguh-sungguh kami telah memuliakan anak keturunan adam”.
Barangsiapa yang menuduh orang lain dengan sesuatu yang haram maka wajib membuktikan tuduhannya itu, apabila ia tidak dapat membuktikan tuduhannya itu maka ia wajib mendapatkan hukuman. (Prof. Drs. H.A. Dzajuli, Fiqh Jinayah: Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 63-64
Seseorang yang menuduh orang lain menuduh orang lain berbuat zina harus dapat mendatangkan empat orang saksi yang memiliki kriteria muslim, dewasa, berakal sehat, adil lagi bebas dari tekanan.
Kesaksian terhadap orang yang melakukan perzinaan dengan empat orang saksi dengan kriteria di atas ternyata belum cukup. Kepada keempat saksi tersebut disyaratkan bahwa dalam peristiwa dan waktu yang sama dan secara haqul yakin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana perzinaan itu berlangsung, seperti mereka melihat bagaimana penis melakukan penetrasi ke dalam vagina secara jelas. (Drs. Mustafa Kamal Pasha, Fikih Sunnah, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), hal. 280-281



B.     Tafsir Ayat Ahkam tentang Tuduhan Palsu
1.   Surat An-Nisa’: 112

وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (النساء : ١١٢)
“Dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan  dan dosa yang nyata”.( Qs . An-nisa’: 112)

Mufrodat
إِثْماً     :Dosa
خَطِيْىةً    :Dosa yang tidak disengaja. Sedangkan (إِثْماً) apa yang dilakukan seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu suatu dosa.
اِحٌتَمَلَ   :Membebani dirinya supaya menanggung.
يَرْمِ بِهِ    : Menuduhkan dan menyadarkan dosa itu kepada orang lain.
بُهْتاَ ناً    :Berbuat dosa kepada orang lain dengan suatu yang membingungkan.
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas, “Bahwa salah seorang dari golongan Anshar yang berperang bersama Rasulullah SAW dalam satu peperangan kehilangan baju besi. Seorang laki-laki dari anshar tertuduh mencuri baju besi itu. Pemilik baju besi itu menghadap Rasululllah SAW dan mengatakan bahwa Tu’mah bin ubairiq yang mencuri baju besi itu dan meletakkannya di rumah seorang laki-laki yang tidak bersalah. Kemudian, Tu’mah memberitahukan kepada kaumnya bahwa dia telah menggelapkan baju besi dan menyembunyikannya di rumah orang lain yang tidak bersalah. Baju besi itu kelak ditemukan di rumah orang itu. Keluarga Tu’mah pergi menghadap Rasulullah SAW pada suatu malam mengatakan kepada beliau: “ Sesungguhnya saudara kami Tu’mah bersih dari tuduhan itu. Sesungguhnya pencuri baju besi itu ialaha si fulan, dan kami benar-benar mengetahui tentang itu”. Bebaskanlah saudara kami dari segala tuduhan di hadapan khalayak dan belalah dia. Jika Allah tidak memeliharanya dengan perantaraanmu binasalah dia. Rasul pun hampir saja membersihkan Tu’mah dari segala Tuduhan dan mengumumkan hai itu di hadapan khalayak ramai. Maka turunlah ayat ini. (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya(Edisi yang disempurnakan), Jakarta: Lentera Abadi, hal 259).
Tafsir Ayat
Orang yang melakukan perbuatan dosa dengan tidak sengaja atau dengan sengaja, kemudian dia melemparkan kesalahan itu kepada orang lain dan menuduh orang lain mengerjakannya, sedang ia mengetahui orang lain itu tidak bersalah, maka dia sesungghnya telah membuat kebohongan yang besar dan akan memikul dosanya seperti yang dilakukan keluarga Banu ubairiq yang melemparkan kejahatan Tu’mah kepada Zaid bin saleh. Orang seperti Tu’mah dan keluarganya tetap melakukan dua macam kejahatan. Kejahatan melakukan perbuatan dosa itu sendiri dan kejahatan melempar tuduhan yang tidak benar kepada orang lain. (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya(Edisi yang disempurnakan), Jakarta: Lentera Abadi, hal 261)

2.   Surat An-Nur : 4-5
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٤) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(٥
Artinya: 4. “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya karna mereka Itulah orang-orang yang fasik; 5. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nur:4-5).
Asbabun Nuzul
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan “Peristiwa dusta” di mana dalam peristiwa itu Ummul Mukminin yang suci, bersih, terhormat dan dapat dipercaya A’isyah binti Abu bakar Ash-Shidiq istri Rasulullah SAW telah dituduh (berbuat zina), sedang ayat pembebasnya yang diturunkan ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi umat dan generasi sesudahnya.
Ibnu Jarir Ath-Thabari rah. berkata: dikatakan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang menuduh A’isyah istri Nabi SAW dengan tuduhan dusta. Dan diriwayatkan bahwa Sa’id bin Jubair pernah ditanya: Mana yang lebih berat (hukumannya), zina atau menuduh orang berbuat zina? Ia menjawab: Zina. Aku(Ibnu Jarir) berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh (berzina) kepada wanita-wanita yang baik-baik” dan seterusnya. Sa’id berkata: Sesungguhnya ayat ini khusus berkenaan dengan peristiwa A’isyah ra.
Yang benar adalah seperti yang dikemukakan Al-Qurthubi dan dipilih oleh ibnu jari, bahwa ayat ini diturunan  berkenaan dengan masalahan tuduhan zina pada umumnya bukan khusus yang menyangkut peristiwa A’isyah saja karena ayat ini merupakan hukum dari Allah yang bersifat umum yang menyangkut setiap tuduhan zina dan telah dimaklumi bahwa:“Yang dijadikan pegangan itu adalah keumuman lafalnya bukan pada kekhususan sebab ( diturunkannya )”.( Hamidy, Mu’ammal. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Surabaya:PT Bina Ilmu Offset, 1993).
Mufrodat
Kata Yarmuna adalah bentuk fi’il mudhari’ dari rama-yarmi-ramyan, yang pada mulanya berarti melempar, tetapi yang dimaksud dalam ayat ini adalah makna majazy, yakni menuduh, ayat ini tidak menjelaskan tuduhan apa yang dimaksud, tetapi dari konteksnya bahwa ia adalah tuduhan zina. Memang pada masa jahiliyah sering kali tuduhan semacam ini dilontarkan bila mereka melihat hubungan akrab antara laki-laki dan perempuan. Mereka juga sering kali menuduh perempuan berzina, jika melihat anak yang dilahirkan tidak mirip dengan suami dan istri yang melahirkannya.
Munasabah
Pada ayat yang lalu Allah menerangkan hukuman atas perempuan dan laki-laki yang belum menikah(bujangan) yang berzina dan larangan bagi mereka menikah dengan perempuan atau laki-laki baik-baik. Maka pada ayat-ayat berikut ini Allah menerangkan tentang larangan menuduh perempuan yang baik-baik berzina; dan larangan menerima kesaksian para penuduh itu karna mereka itu adalah orang-orang fasiq.
Tafsir Ayat
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang menuduh perempuan yang baik-baik (Muhshanat) berzina, kemudian mereka itu tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhan mereka, dapat mendatangkan empat orang saksi yang adil yang menyaksikan dan melihat sendiri dengan mata kepala mereka berbuat zina itu, maka hukuman untuk mereka ialah didera delapan puluh kali, karena mereka itu telah membuat malu dan merusak nama baik orang yang dituduh, begitu juga keluarganya. Yang dimaksud dengan perempuan muhshsanat disini adalah perempuan-perempuan muslimat yang baik sesudah akil balig dan merdeka. Penuduh-penuduh itu tidak dapat dipercayai ucapannya dan tidak dapat menerima kesaksiannya dalam hal apapun selamanya, karena mereka itu pembohong dan fasiq, yaitu sengaja melanggar hukum-hukum Allah.
Disebutkan secara jelas perempuan disini tidaklah berarti bahwa ketentuan itu hanya berlaku bagi perempuan. Bentuk hukuman seperti itu disebut Aglabiyyah, yaitu bahwa ketentuan itu menurut kebiasaan mencakup pihak-pihak lain. Dengan demikian laki-laki juga dikenai hukuman tersebut.
Istimbatul Ahkam
1.      Arti “Ihshan” yang mempunyai empat makna, yaitu:
a.       ‘Iffah (terpeliharanya kehormatan), “Al-Muhshanat” di sini berarti wanita-wanita yang memelihara kehormatannya baik mereka itu wanita-wanita mukminat maupun wanita ahli kitab.
b.      Al-Hurriyah (kemerdekaan lawan kehambaan)
c.       At-Tazawwuj(bersuami), kata “Al-Muhshanat” di sini berarti perempuan-perempuan yang bersuami.
d.      Al-Islam
Syarat-syarat Tuduhan
ü  Yang berhubungan dengan penuduh, di antaranya: berakal, baligh, dan atas kemauannya sendiri.
ü  Yang berhubungan dengan pihak tertuduh, di antaranya: islam, berakal, baligh, kemerdekaan, ‘iffah (terpeliharanya kehormatan).
ü  Yang berhubungan dengan materi tuduhan.( Hamidy, Mu’ammal, Imron A. Manan. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. 1993. Surabaya: PT Bina Ilmu, Hal. 135-138).
2.      Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan muhshanat berbuat zina kemudian mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi untuk memperkuat tuduhan mereka maka hukuman mereka ialah didera delapan puluh kali dera dan tidak boleh diterima kesaksiannya selama-lamanya, serta di golongkan kedalam orang-orang fasik. Hal yang sama berlaku bagi laki-laki yang dituduh berbuat zina.
3.      Penuduh-penuduh itu apabila taubat dengan taubat nasuha, maka kesaksian mereka dapat diterima kembali dan tidak lagi digolongkan ke dalam orang-orang fasik, karena Allah Maha Pengampun Maha Pengasih.

Gugurnya Hukum Qadzaf
            Seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina akan gugur hukumannya apabila orang tersebut:
a.    Dapat mengemukakan saksi empat orang, yang menerangkan bahwa tertuduh benar-benar berzina dengan kesaksian sebagaimana disyariatkan oleh agama
b.   Dimaafkan oleh yang tertuduh
c.    Kalau yang dituduh berbuat zina justru istrinya sendiri, maka hukuman tersebut dapat terlepas dengan cara “Li’an”. (Drs. Mustafa Kamal Pasha, Fikih Sunnah, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), hal. 280-281




















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwasanya tuduhan palsu ialah suatu yang mana tidak sesuai dengan kenyataanya. Menuduh itu ada dua macam yaitu menuduh zina yang mengancam had dan menuduh selain zina yang dihukum ta’zir. Barangsiapa yang menuduh orang lain dengan sesuatu yang haram maka wajib membuktikan tuduhannya itu, apabila ia tidak dapat membuktikan tuduhannya itu maka ia wajib mendapatkan hukuman.
Dalam qadzaf ada hukuman pokok ialah jilid dan ada hukuman tambahan dan tidak diterima kesaksian. Jumlah jilid ada 80 kali, tidak bisa dikurangi atau tidak dapat ditambah.

















DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Abdul Halim Binjui. 2011. Tafsir Ahkam. Jakarta: Prenada media Group.
Hamidy, dkk. 1993. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Kamal Pasha, Mustafa. 2003. Fikih Sunnah, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri,
H.A. Dzajuli. 1997. Fiqh Jinayah: Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sayyid Sabiq, Muhammad. 2012. Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda