Kamis, 27 November 2014

Fiqh klasik dan kontemporer



FIQH KLASIK DAN KONTEMPORER


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih Kontemporer
Dosen : Drs. Abdul Aziz, M.Ag
Disusun Oleh:
1.     Adin Nurrakhim                      12.21.21.001
2.     Ahmad Jalal                            12.21.21.002
3.     Asih Pusposari                        12.21.21.010

JURUSAN AKHWALUS-SYAHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI(IAIN) SURAKARTA
2014/2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, Segala puji bagi Rabb semesta alam ini, pencipta hakiki yang senantiasa menyiapkan rencana sempurna untuk hamba-Mu ini, tak ada yang bisa hamba ucapkan selain kalimat syukur atas segala pemberian terbaik kepada hamba yang lemah ini. Puji syukurku atas-Mu yang telah memudahkan segala kesulitan, melapangkan segala kesempitan, serta memberi petunjuk atas kebuntuan.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada sang pembawa risalah kepada Nabi kita, Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini memaparkan tentang pengertian Fiqh Klasik, Fiqh kontemporer dan juga dinamikai dari Fiqh kontemporer tersebut.
Namun demikian, penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini penulis masih belum bisa mencapai kesempurnaan, maka kritik dan saran sangat penulis harapkan.
Semoga apa yang telah kami upayakan ini mendapatkan ridho Allah SWT. Amin.











DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang …………………………………………………………………….
B.     Rumusan Masalah …………………………………………………………………
C.     Tujuan  …………………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fiqh Klasik dan Kontemporer  ……………………………………
B.     Dinamika Fiqh Kontemporer……………………………………………………
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………
Kesimpulan…………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fiqih (hukum) merupakan bagian dari unsur ajaran islam sebagai pedoman hidup bagi manusia terutama dalam melaksanakan tugas kekhalifannya di muka bumi. Fiqh islam cenderung berbicara tentang sesuatu yang berhubungan dengan boleh atau tidaknya sesuatu pelaksanaan amaliah, atau dengan kata lain sesuatu yang dikaitkan dengan halal-haram dalam agama yang selalu menjadi persoalan dalam proses sosialiasasi fiqh( hukum islam) bukan yang menyangkut tentang eksistensi hukum tersebut, tetapi yang sering menjadi ajang perdebatan di kalangan ulama adalah dalam hal relevansi maupun aktualiasasi hukum itu sendiri, terutama bila dikaitkan dengan tempat maupun zaman.
Akibat dari modernisasi dan kemajuan zaman, muncullah masalah-masalah baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi sehingga perlu ditetapkan hukumnya, maka dari itu ada pemikiran mengenai fiqh kontemporer.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian Fiqh klasik dan Kontemporer?
2.      Bagaimana Dinamika Kontemporer?

C.     Tujuan
1.      Untuk dapat memahami apa itu Fiqh Klasik dan Kontemporer
2.      Untuk dapat memahami bagaimana Dinamika Fiqh Klasik dan Kontemporer








BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Fiqh Klasik dan Kontemporer
Fiqh menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti. Adapun fiqh menurut istilah adalah ilmu tentang hokum syara yang bersifat amali diambil dari dalil-dalil yang tafsili.[1]
DR. H. Muslim Ibrahim (Pengantar Fiqh Muqaaran) menyatakan bahwa Fiqh adalah suatu ilmu yang mengkaji hukum syara’ yaitu titah Allah yang berkaitan dengan aktivitas Mukallaf berupa tuntutan, seperti wajib, haram, sunat, makruh; atau pilihan, yaitu mubah; ataupun ketetapan, seperti sebab, syarat dan mani’, yang kesemuanya digali dari dalil-dalilnya yang rinci, seperti ijma’; Qiyas, dan lain-lain.[2]
Menurut Nur Cholis Madjid, “Fiqh” adalah pemahaman keseluruhan ajaran agama, seperti dimaksudkan dalam kitab suci; tidaklah seharusnya orang-orang yang beriman maju ( ke medan perang) semuanya. Alangkah baiknya kalau dari setiap kelompok dari mereka itu ada sebagian golongan yang pergi ( ke medan perang), agar (yang lainnya) dapat memperdalam pemahaman tentang agama, dan agar mereka ini dapat mengingatkan (mengajari) kaum mereka (yang pergi ke medan perang) bila telah kembali kepada mereka, supaya mereka itu dapat menjaga diri (dari perbuatan yang tidak benar).(At-Taubah:122).[3]
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kontemporer berarti sewaktu, semasa, pada waktu atau masa yang sama, pada masa kini,dewasa ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa fiqh kontemporer adalah tentang perkembangan pemikiran fiqh dewasa ini. Dalam hal ini yang menjadi titik acuan adalah bagaimana tanggapan dan metodologi hukum islam dalam memberikan jawaban terhadap masalah-masalah kontemporer.[4]
Adapun yang melatarbelakangi munculnya isu Fiqh Kontemporer yaitu akibat adanya  arus modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara-negara yang dihuni oleh mayoritas umat islam. Dengan adanya arus moderenisasi tersebut, mengakibatkan munculya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat islam, baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama.[5]
Ruang lingkup Kajian fiqh kontemporer mencakup masalah-masalah fiqh yang berhubungan dengan situasi kontemporer (modern) dan mencakup wilayah kajian dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kajian fiqh kontemporer tersebut dapat dikategorikan ke dalam beberapa aspek:[6]
1.      Aspek hukum keluarga, seperti: akad nikah melalui telepon, penggunaan alat kontra sepsi, dan lain-lain.
2.      Aspek ekonomi, seperti: system bunga dalam bank, zakat profesi, asuransi, dan lain-lain.
3.      Aspek pidana, seperti: hukum pidana islam dalam sistem hukum nasional
4.      Aspek kewanitaan seperti: busana muslimah (jilbab), wanita karir, kepemimpinan wanita, dan lain-lain.
5.      Aspek medis, seperti: pencangkokan organ tubuh atau bagian organ tubuh, pembedahan mayat, euthanasia, ramalan genetika, cloning, penyebrangan jenis kelamin dari pria ke wanita atau sebaliknya, bayi tabung, percobaan-percobaan dengan tubuh manusia dan lain-lain.
6.      Aspek teknologi, seperti: menyembelih hewan secara mekanis, seruan adzan atau ikrar basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau televisi, dan lain-lain.
7.      Aspek politik (kenegaraan), seperti: yakni perdebatan tentang istilah “Negara islam”, proses pemilihan pemimpin, loyalitas kepada penguasa (kekuasaan), dan lain sebagainya.
8.      Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti: tayammum dengan selain tanah (debu), ibadah kurban dengan uang, menahan haid karena demi ibadah haji, dan lain sebagainya.
Fiqh klasik banyak berisi hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah, yang dibebankan pada Muslim yang sudah Mukallaf yaitu kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat).
Untuk memperoleh gambaran secara komprehensif dari karakteristik fiqh ini, ada beberapa periode perkembangan fiqh, yaitu ada enam dalam perkembangan fiqh. Periode pertama, fiqh dalam era kenabian. Meskipun periode pertama ini lebih mrupakan masa turunnya syari’at, tetapi keberhasilan Nabi dan para sahabat dalam menyikapi hukum islam mampu mewariskan suatu keniscayaan bagi perkembangan kajian-kajian fiqh pada era berikutnya.
Periode Kedua adalah pada masa Khulafaurrasyidin, pada periode ini perkembangan fiqh masih tetap seperti periode pertama, meskipun ada perluasan wilayah islam dan bercampurnya orang arab dengan non arab turut mengadirkan tuntutan bagi perkembangan fiqh, kajian-kajian itu semakin intens ketika Abu Bakar berinisiatif mengumpulkan al-Qur’an dan Utsman bin Affan yang menerbitkan bacaannya. Pada saat itu mulailah terjadi dari sahabat dalam memahami nash.
Periode ketiga adalah fiqh dalam era shigar shahabat dan tabi’in. Perluasan wilayah islamya yang sendirinya menjadikan para fuqoha tersebar di seluruh daerah yang telah dibuka memberikan pengaruh tersendiri pada perkembangan fiqh. Diantara pengaruh yang terpenting adalah munculnya dua kecenderungan dalam  fiqh; kecenderungan ahli hadits di Hijas dan kecenderungan ahli Ra’yi (pemikiran) di Irak. Kedua kecenderungan ini sama-sama mengkaji fiqh dengan metodenya yang khusus dan tidak jarang melakukan tanya jawab, munadharah, diskusi dan tanggapan konstruktif sehingga memperkaya khazanah fiqh.
Periode keempat adalah fiqh dalam era keemasan. Seiring dengan perkembangan gerakan ilmiah dan kodifikasi ilmu dalam islam, Tsarwah fiqhiyyah (kekayaan fiqh) mencapai puncak keemasannya yang ditandai munculnya empat mazhab fiqh dalam islam - mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali – yang hingga kini tetap menjadi kerangka rujukan umat islam.
Masing-masing menawarkan metodologi tersendiri dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan dan landasan pengambilan hukum. Meskipun kita yakin mereka tidak bermaksud membentuk madzhab-madzhab tertentu, tetapi kedalaman kajian-kajian fiqh telah teruji dalam perjalanan sejarah yang cukup panjang dan dianggap cukup representatif untuk menjadi pegangan dalam beberapa masa. Tetapi itu tidak berarti konsepsi mereka sudah final, bahkan dalam batas-batas tertentu, lahirnya madzhab ternyata sangat dipengaruhi faktor sosial budaya, politik dan kecenderungan para imam yang membentuk karakteristik, teori dan formula yang berbeda, meskipun sama-sama berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama, madzhab Hanafi bercorak rasional, madzhab Maliki yang cenderung tradisional, dan madzhab Syafi’i yang moderat serta madzhab Hambali yang fundamental. Bukanlah karena pembawaan kepribadian masing-masing imam itu, tetapi – seperti diuraikan oleh Dr. Farouq Abu Zaid dalam bukunya as-Syari’ah al-Islamiyyah bayn al-Muhafidhin wa al-Mujahidin - merupakan refleksi logis dari situasi kondisi masyarakat dimana hukum itu tumbuh.[7] Dalam periode ini juga mulai dirintis penulisan tafsir, hadits, fiqh dan ushul fiqh.
Periode kelima adalah fiqh dalam era jumud dan stagnasi. Lemahnya kekuasaan kaum muslimin dan terpecah-belahnya kekuatan mereka banyak mempengaruhi kemacetan dan kejumudan fiqh. Pada periode ini muncul fatwa ulama' yang terkenal bahwa “pintu ijtihad telah ditutup” dan terjadilah fanatisme yang berlebihan terhadap mazhab-mazhab tertentu. Betapapun sejarah juga mencatat jasa-jasa para fuqoha yang tidak kecil dalam memperkaya tsarwah fiqhiyyah, seperti penulisan syarh (penjelasan) dari buku-buku fiqh aimmatul madzahib (para imam madzhab), takhrij (mentahqiq haditsnya)dan tarjih (studi komparatif) antara satu madzhab dengan madzhab lainnya.
Periode keenam adalah fiqh dalam era kebangkitan kembali yang dimulai pada abad ke-13 H. Hingga sekarang ini yang diantaranya, ditandai dengan menipisnya fanatisme madzhab dan usaha keras fuqaha dan mujtahidin untuk menghidupkan kembali kajian fiqh.[8]

B.       Dinamika Fiqh Kontemporer

Perkembangan kehidupan manusia selalu berjalan sesuai dengan ruang dan waktu, dan ilmu fiqh adalah ilmu yang selalu berkembang karena tuntutan kehidupan zaman. Fiqh adalah ilmu yang sangat penting bagi kehidupan umat islam.
            Dengan semakin berkembangnya arus informasi dan jaringan komunikasi dunia, terjadi pulalah apa yang disebut dengan proses modernisasi. Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam bentuk perubahan baik secara struktural maupun cultural.[9]
Perubahan struktural berarti perubahan yang hanya meliputi struktur sosial belaka, yakni jalinan dan hubungan satu sama lain dari keseluruhan unsur sosial. Unsure-unsur sosial yang pokok adalah kaidah-kaidah, lembaga-lembaga, kelompok-kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan perubahan secara kultural lebih bersifat ideologis atau immaterial yakni perubahan nilai-nilai, pemikiran dan sebagainya. Dalam era modernisasi dewasa ini, salah satu aspek pemikiran yang turut mengalami tuntutan perubahan adalah di bidang hukum islam.
Mengingat hukum islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang terpenting, maka perlu ditegaskan di sini aspek mana yang mengalami perubahan dalam kaitannya dengan hukum islam tersebut. Karena agama dalam pengertiannnya sebagai wahyu Tuhan tidak akan berubah, tetapi tentang pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual tetapi secara kontekstual. Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapai pemahaman dan penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena perubahan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian ialam akan tetap relevan dan actual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial secara umum ada dua macam. Ada yang terletak di dalam masyarakat (factor intern) seperti bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk, adanya penemuan-penemuan baru, terjadinya pertentangan atau konflik dalam masyarakat dan timbulnya pemberontakan atau revolusi di dalam masyaakat itu sendiri. Dan ada pula yang bersumber dan sebagai pengaruh dari masyarakat lain (factor ekstern) seperti terjadinya peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Pengaruh-pengaruh unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan dalam system pemikiran islam termasuk pembaharuan dalam hukum islam. Dengan demikian hukum islam akan tetap mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan zaman (modernitas). Tanpa adanya upaya pembaharuan pemikiran dimaksud tentu akan menimbulkan kesulitan  dalam kemasyarakatan hukum sebagai salah satu pilar masyarakat, sedangkan kehidupan masyarakat itu sendiri senantiasa mengalami perkembangan, maka upaya pembaharuan pemahaman hukum islam pun harus dapat mengikuti perubahan itu.
Fiqh kontemporer yang dihasilkan melalui ijtihad yang kontemporer melihat bahwa ilmu dan produk hukum fiqh sebagai sumber etika social dan kemaslahatan. Fiqh kontemporer membagi fiqh menjadi tiga bagian: pertama, kemaslahatan yang bersifat primer; yaitu kemaslahatan yang harus menjadi acuan utama bagi implentasi syari’ah islam. Sebab jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang menyebabkan ambruknya tatanan social. Kedua, kemaslahatan sekunder. Yaitu kemaslahatan yang tidak mengakibatkan ambruknya tatanan social dan hukum, melainkan sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksana sebuah hukum. Ketiga, kemaslahatan suplementer. Yaitu kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah etika dan estetika. Dari keterangan diatas, menunjukkan betapa pentingnya dalam merekonstruksi fiqh klasik menjadi sebuah keilmuan fiqh yang lebih terbuka dan progresif, demi tercapainya pemahaman teologi yang bersifat empiris, pluralis, dan egaliter. Karna dengan pemikiran yang seperti inilah diharapkan fiqh klasik yang terkesan out of date dapat disegarkan kembali dengan pola-pola pemikiran yang lebih eksklusif, sehingga sedapat mungkin mampu menjawab problem-problem keumatan islam, sehingga dalam setiap langkah pengerjaan terhadap syari’ah islam yang dilakukan mereka(kaum muslimin) dapat dilakukan dengan niatan yang pasti dan jelas serta agar mereka tidak terbelenggu dengan aturan-aturan yang ada di dalam keilmuan fiqh tersebut.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Latar belakang munculnya isu Fiqh kontemporer yaitu akibat adanya  arus modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara- Negara yang dihuni oleh mayoritas umat islam. Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam bentuk perubahan baik secara struktural maupun kultural.
            Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapi pemahaman dan penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena perubanhan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian islam akan tetap relevan dan aktual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.
            Ruang lingkup fiqh kontemporer meliputi aspek hukum keluarga, aspek ekonomi, aspek pidana, aspek kewanitaan, aspek medis, aspek teknologi, aspek politik (kenegaraan), dan aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
            Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekuensi logis dari tugas fiqh, yang harus selalu berusaha menyelaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif dengan dua sumber rujukan utamanya yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
            Kompleksitas persoalan-persolan baru yang muncul di masa kini tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama. Di sinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqh kontemporer tersebut.






DAFTAR PUSTAKA
Azhar, Muhammad. 1996. Fiqh Kontemporer dalam pandangan Aliran Neomodernisme Islam. Yogyakarta: Lesiska.
Sirry, Mun’im. 1996. Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti.
Yafie, Ali. 1996. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Yanggo, Huzaimah Tahido. 2005. Masail Fiqhiyah. Bandung: Angkasa.
Umar, Hasbi. 2007. Nalar Fiqh Kontemporer. Jakarta: Persada Press
Anwar, Syahrul.2010. Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Bogor: Ghalia Indonesia.







[1] Anwar, Syahrul, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal. 13
[2] Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam pandangan aliran neomodernisme, (Yogyakarta: Lesiska, 1996), hal.4
[3] Ibid, hal. 8
[4] Ibid, 10
[5] Ibid, hal. 16
[6] Ibid, hal.  22
[7] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 62-63

[8] Ibid, hal. 19-21

[9]Ibid, hal. 57

Rabu, 26 November 2014


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


Paper ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara
Dosen pengampu : Zaidah Nur Rosidah, S.H, M.H

Disusun oleh :
Aji Muhamad Sidik                (122.121.007)
Angga Budi Saputra               (122.121.008)
Arifin Ali Mustofa                  (122.121.009)
Asih Pusposari                        (122.121.010)
Astutik Fadhilah                     (122.121.011)
Edo Firmansyah                      (122.121.012)
Eko Budi Setyo AF                (122.121.013)


PROGRAM STUDI AHWAL ASY- SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Untuk menjalankan pemerintahan dalam arti luas, Negara republik Indonesia mempunyai lembaga-lembaga kenegaraan, lembaga-lembaga kenegaraan tersebut diatur dalam undang-undang dasar 1945 (UUD 1945).
Menurut UUD 1945 lembaga-lembaga kenegaraan itu ialah:
a.       Lembaga tertinggi Negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
b.      Lembaga-lembaga tinggi Negara yaitu: Presiden,DPA, BPK, MA, dan DPR.
Bahwa menurut UUD1945, DPR menempati kedudukan cukup kuat berdampingan dengan pemerintah, telah cukup dipahami. Namun, dalam praktiknya ternyata bukan hanya para pengamat yang menilai bahwa DPR belum dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara optimal. 


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian DPR
Untuk mengatur kehidupan rakyat dalam suatu Negara perlu disusun Undang-undang dan peraturan lainnya. Di Indonesia, undang-udang dibuat oleh presiden dengan persetujuan DPR. Oleh karena itu, DPR disebut lembaga legislative, yakni lembaga pembuat atau penyusun undang-undang.
DPR ialah suatu lembaga tinggi Negara yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil rakyat. Wakil-wakil rakyat yang duduk dalam DPR dipilih dalam suatu pemilihan umum. Di Indonesia, pemilihan umum diselenggarakan lima tahun sekali.
DPR atau parlemen pada umumnya mempunyai tugas memelihara, menjaga, serta memajukan kepentingn rakyat. Selain itu, DPR membantu dan mengawasi pemerintah agar menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Bersama-sama presiden, DPR juga menetapkan anggaran pendapatan dan anggaran pembelanjaan Negara tiap-tiap tahun.[1]
Setelah amandemen, DPR mengalami perubahan fungsi legislasi yang sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke DPR. Pergeseran pendulum itu dapat dibaca dengan adanya perubahan secara substansial pasal 5 ayat 1 UUD 1945 dari presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Akibat dari pergeseran itu, hilannya dominasi presiden dalam proses pembuatan undang-undang. Perubahan itu penting, artinya karna undang-undang adalah produk hukum paling dominan untuk menerjemahkan rumusan normative yang terdapat dalam UUD 1945.[2]

2.      Perkembangan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
a.       DPR pada masa RIS 1949
pada tanggal 27 desember 1949 lahirlah Republic Indonesia Serikat (RIS). Dalam Negara serikat, kekuaaan tertinggi (kedaulatan) dalam Negara dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat. Senat ialah badan perwakilan dari Negara-negara bagian dalam lingkungan Negara serikat (RIS). Senat bersanma-sama pemerintah dan DPR yang berwenang menetapkan undang-undang RIS. DPR Negara RIS terdiri dari 150 orang anggota.
b.      DPR pada masa UUDS-1950
Dalam perkembangannya, Negara RIS ini tidak memuaskan bangsa Indonesia. Pada tanggal 15 agustus 1950 negara RIS diganti dengan Negara Kesatuan Republic Indonesia (NKRI).
Konstitusi (UUD) RIS 1949 diganti dengan undang-undang sementara tahun 1950 (UUDS 1950). Dengan demikian senat Negara RIS dihapuskan, dan yang masih tetap ada ialah DPRS. DPRS republic Indonesia terdiri atas:
                                                        i.            Seluruh anggota dpr-ris
                                                      ii.            Seluruh anggota senat-ris
                                                    iii.            Seluruh anggota BP-KNP(R.I)
                                                    iv.            Seluruh anggota DPA(R.I)
DPRS beranggotakan 236 orang. Pada tanggal 29 september 1955 diadakan pemilihan umum yang pertama untuk memilih anggota DPR. Dalam pemilian umum tahun 1955 terpilih 272 orang anggota DPR.
c.       DPR Gotong Royong (DPR-GR)
Pada tanggal 5 juli 1959 presiden republic Indonesia mengeluarkan dekrit presiden yang isi pokoknya antara lain:
                                            i.            Menyatakan berlaku kembali UUD 1945
                                          ii.            Menyatakan tak berlaku lagi UUDS 1950
                                        iii.            Dalam waktu singkat akan dibentuk DPR Sementara.
Demikianlah ada tanggal 22 juli 1959 DPR hasil pemilihan umum tahun 1955 ditetapkan menjadi DPR Sementara, sambil menunggu DPR yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 yang berlaku kembali.
Pada tanggal 24 juni 1960 DPR Sementara diganti dengan DPR Gotong-Royong yang berjumah 283 orang.
d.      DPR hasil pemilihan umum
Pada tahun 1966 lahirlah pemerintahan orde baru yang bertekad untuk melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Sehubungan dengan itulah maka telah dibentuk UU No. 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum.
Pemilihan umum 3 juli 1971 dan tahun 1982 telah diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih naggota DPR (460 orang). 

3.      Fungsi, wewenang dan hak Dewan Perwakilan Rakyat.
*      Fungsi Dewa Perwakilan Rakyat
a.       Fungsi legislasi, Yang dimaksud dengan fungsi legislasi adalah DPR sebagai lembaga tinggi negara memiliki fungsi sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan membentuk undang-undang.
b.      Fungsi anggaran, Yang dimaksud dengan fungsi anggaran adalah DPR sebagai lembaga tinggi negara memiliki fungsi sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadapan rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh presiden.
c.       Fungsi pengawasan, Yang dimaksud dengan fungsi pengawasan adalah DPR sebagai lembaga tinggi negara memiliki fungsi sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Fungsi-fungsi ini dilaksanakan sebagai kerangka representasi rakyat terhadap pemerintah. (UUD 1945 pasal 20A ayat (1)** “Dewan Perwakilan Rakat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”[3] dan UU.No. 27 tahun 2009 pasal 69 ayat (1-2) dan pasal 70 ayat (1-3).

*      Hak Dewan Perwakilan Rakyat
DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket serta hak menyatakan pendapat yang diatur dalam pasal 20A ayat (2)** “dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain udang-undang dasar ini, dewan perwakilan rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”

*      Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat
a.       Membentuk undang-undang yang dibahas bersama presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama, dalam pasal 5 (1)*.
b.      Membahas dan memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah penganti undang-undang yang diajukan oleh presiden untuk dijadikan undang-undang. Dalam pasal 22 ayat (2) “peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam persidangan berikut”
c.       Menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam pasal 22D ayat (1)*** “dewan perakilan daerah dapat mengajukan kepada dewan perwakilan rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan deganperimbangan keuangan pusat daerah”
d.      Pembahasan dan persetujuan RAPBN yang diajukan oleh presiden, pasal 23 ayat (2 dan 3)***
(2) rancangan undang-undang anggaran penapatan dan belanja Negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama dewan perwakilan rakyat dengan memperhatikan pertimbangan dewan perwakilan daerah.
(3) apabila dewan perwakilan rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja Negara yang diusulkan oleh presiden, pmerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja Negara tahuun lalu.
e.       persetujuan dalam menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dalam pasal 11 ayat (1 dan 2)****
(1)   presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2)   Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengaharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetjuan dewan perwakian rakyat.
f.       Memberikan pertimbangan kepada presiden tentang pemberian amnesti dan abolisi. Dalam pasal 14 ayat (2)* “presiden memerikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan dewan perwakilan rakyat”
g.      Memberikan pertimbangan presiden terhadap pengangkatan duta besar, dalam pasal 13 ayat (2)*  dan penerimaan penempatan duta besar dari negara lain pasal 13 ayat (3)*.
h.      Memilih anggota BPK dengan melihat pertimbangan DPD, pasal 23F (1)***. “anggota badan pemeriksa keuangan dipilih oleh dewan perwakilan rakyat dengan memperhatikan pertimbangan dewan perwakilan dan diresmikan oleh presiden.
i.        Membahas dan menindak lanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan yang disampaikan oleh BPK.
j.        Memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi yudisial, pasal 24B (3)*** ”anggota komisi yudisisal diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat”
k.       Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan oleh komisi yudisial untuk ditetapkan oleh presiden sebagai hakim agung, pasal 24A (3)*** “calon hakim agung diusulkan komisi yudisial kepada dewan perwakilan rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden”
l.        Memilih 3 orang hakim konstitusi dan mengajukan kepada presiden untuk diresmikan dengan  keputusan presiden, pasal 24C(3)***. “mahkamah konstitusi mempunyai sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan leh presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh makhamah agung, tiga orang dari DPR Dan tiga orang dari presiden”
4.      Tata cara pembentukan undang-undang
Dalam pembentukan undang-undang, DPR memegang kekuasaan dalam membentuk UU pasal 20 (1)*, anggota DPR dan presiden juga berhak untuk mengajukan usulan berupa RUU pasal 21* dan 5 (1)*, kemudian RUU tersebut dibahas oleh DPR bersama presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Apabila RUU tersebut diterima maka dilakukan pengesahan, dan apabila dalam waktu tiga puluh hari RUU tersebut tidak disahkan, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan dalam pasal 20 (5)**. Apabila tidak mendapat persetujuan, maka tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu paal 20 (3)*.




  




DAFTAR PUSTAKA
C.S.T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. (Jakarta: Bina Aksara, 1986).
Titik Triwulan Tutik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia pasca amandemen UUD 1945. (Jakarta: Kencana, 2010).
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
v  UU Dewan Perwakilan Rakyat
v  UU Dewan Perwakilan Daerah
v  UU Kekuasaan Pemrintahan Negara
v  UU Hal Keuangan
v  UU Kekuasaan Kehakiman
v  UU Badan Penyelidik Keuangan





[1] C.S.T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. (Jakarta: Bina Aksara, 1986), Hal. 474-475.
[2] Titik Triwulan Tutik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia pasca amandemen UUD 1945. (Jakarta: Kencana, 2010). Hal. 191-192.
[3] UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tentang Dewan Perwakilan Rakyat.